Rumah247.com – Saat orangtua meninggal dunia, masalah pembagian harta warisan tentu akan terjadi. Harta warisan sendiri berdasarkan definisinya adalah harta benda yang ditinggalkan orang yang telah wafat (pewaris) untuk diberikan kepada ahli warisnya. Terkait harta bendanya, bisa berupa aset bergerak seperti mobil, deposito, logam mulia, hingga uang. Atau bisa juga aset tidak bergerak, misalnya rumah, tanah, ruko, dan bangunan lainnya. Namun perlu diketahui juga, bahwa utang atau kewajiban sang pewaris juga dikategorikan sebagai harta warisan.
Pada prosesnya, pembagian harta warisan akan berpatok pada hukum waris yang berlaku. Hukum waris menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, ialah hukum yang mengatur mengenai kekayaan seseorang setelah ia meninggal, mengenai bagaimana memindahkan kekayaan seseorang setelah ia tiada. Lebih lengkap membahas soal harta warisan, akan terangkum dalam beberapa poin sebagai berikut.
- Pengertian Harta Warisan
- Pembagian Harta Warisan Menurut Islam1. Apa yang Wajib Ditunaikan?2. Hukum Kewarisan Sesuai KHI
- Pembagian Harta Warisan Menurut Adat
- Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Perdata
- Yang Perlu Dilakukan Sebelum Harta Warisan Dibagikan
- Pahami Pajak Warisan
1. Pengertian Harta Warisan
Pasal yang mengatur tentang waris tertulis dalam 300 pasal, yang dimulai dari Pasal 830 sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata. Di samping itu, waris juga diatur dalam Inpres no. 1 Tahun 1991. Merujuk Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, harta warisan adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Sesuai Pasal 830 KUHPerdata, yang berhak disebut sebagai ahli waris adalah sebagai berikut:
Berdasarkan penafsiran ahli waris menurut UU dibagi kedalam 4 (empat) golongan:
Oleh karenanya, pembagian waris menurut sistem Hukum Perdata diutamakan kepada golongan pertama sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan. Pembagian warisan menurut Hukum Perdata juga tidak membedakan porsi antara laki-laki dan perempuan, sehingga dilakukan secara adil dan seimbang.
Berbeda dengan hukum Islam, dimana pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan akan berbeda porsinya. Mengapa demikian? Selengkapnya akan dijelaskan dalam pembahasan di bawah ini.
2. Pembagian Harta Warisan Menurut Islam
Pada hukum Islam tentang harta warisan mengatur bahwa jumlah yang diterima laki-laki adalah dua kali jumlah yang diterima perempuan. Hal ini merujuk pada ketentuan yang sudah tertulis dalam Alquran, surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi:
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan).
Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Fungsi Surat Hibah, 3 Syarat Utama dan Contoh Suratnya Berdasarkan KUHPerdata
Tafsir dari ayat di atas, jelas artinya bahwa harta warisan dibagikan jika memang orang yang wafat meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun, sebelum harta warisan itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terlebih dahulu mesti dikeluarkan sebagai peninggalan dari mayit, yakni:
Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi, selanjutnya pembagian harta warisan bisa dilakukan kepada ahli waris yang berhak. Mengutip Pengadilan Agama Jakarta Timur, hukum kewarisan sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (al-ahwalus syahsiyah) sangat penting dipelajari agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya.
Pasalnya, dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka ahli waris dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris atau pewaris, dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Lebih jauh, hal ini juga ditegaskan Rasulullah SAW, “Belajarlah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan an-Nasa’i)”.
Simak juga: Panduan Mengurus Akta Jual Beli Rumah Update 2021
Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214. Dalam pasal 171 KHI, ada beberapa ketentuan umum mengenai kewarisan ini, diantaranya:
3. Pembagian Harta Warisan Menurut Adat
Pada beberapa kondisi di lapangan, ada sebagian masyarakat yang memilih untuk mengikuti hukum adat sebagai patokan dalam pembagian harta warisan. Dalam materi Hukum Adat, disebutkan bahwa di dalam masyarakat Indonesia tidak terdapat satu sifat kekerabatan/kekeluargaan yang sama.
Ini lantaran di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai sifat kekerabatan yang dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan, sebagaimana dikutip dari jurnal Repository IAIN Salatiga karya Sigit Sapto Nugroho, sebagai berikut:
- Patrilinial, menarik dari garis keturunan bapak
- Matrilinial, menarik dari garis keturunan ibu
- Parental, menarik garis keturunan kedua belah pihak yaitu bapak dan Ibu
Oleh karenanya, ketika membicarakan salah satu bidang Hukum Adat sebagai pegangan dalam pembagian harta warisan, maka akan selalu dipengaruhi oleh sistem atau sifat kekerabatan di atas. Sedangkan kalau melihat masing-masing sistem kekerabatan tersebut, maka pengaruhnya terhadap hukum waris akan terlihat perbedaan-perbedaannya.
Berdasarkan definisinya, hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya, terlepas dari hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris, sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari Pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.
Pembagian harta warisan secara tepat dan sesuai dengan hukum yang berlaku patut dipertimbangkan untuk meminimalkan kemungkinan persengketaan antar anggota keluarga di masa mendatang. Mau punya rumah sendiri tanpa harus nunggu warisan? Cek pilihan rumahnya di kawasan Gading Serpong dengan harga di bawah Rp1 M di sini!
4. Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Perdata
Waris menurut Hukum Perdata adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang mengatur akibat-akibat hukum. Umumnya di bidang hukum harta kekayaan karena kematian seseorang, yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mendiang beserta akibat bagi para penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga. Golongan ahli waris menurut Hukum Perdata dapat dibedakan atas empat golongan.
5. Yang Perlu Dilakukan Sebelum Harta Warisan Dibagikan
Dalam Islam, bila ada seorang muslim yang meninggal dunia dan memiliki harta yang ditinggalkan (tirkah), maka ada kewajiban sebelum melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris. Kewajibannya adalah sebagai berikut.
Contoh kewajiban ini adalah zakat, kafarat dan gadai. Jadi, apabila terdapat pewaris meninggal dunia dan ternyata ia memiliki tanggungan zakat, kafarat dan gadai misalnya, maka tirkah atau harta peninggalannya harus digunakan untuk kepentingan ini.
Tips Rumah247.com Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214. Dalam pasal 171 KHI, ada beberapa ketentuan umum mengenai kewarisan ini.
6. Pahami Pajak Warisan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa harta warisan bukan merupakan objek pajak. Penerapan pajak baru akan dikenakan kepada ahli waris jika warisan itu belum terbagi. Adapun aturan tersebut tertuang dalam UU PPh No 36 tahun 2008 pada pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa harta warisan merupakan bukan objek pajak.
Pengecualian ini secara legal didasarkan pada adanya Akta Waris yang sah terbitan Notaris dan dibuat sebelum pengakuan kepemilikannya. Walaupun warisan tersebut merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi ahli waris, namun tidak merupakan objek pajak.
Warisan yang dimaksud ini adalah meliputi semua jenis harta baik itu harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Walaupun warisan dikategorikan ke dalam bukan objek pajak, namun tetap harus diperhatikan, apakah warisan tersebut sudah dibagikan ataukah belum.
Ingin tahu lebih lanjut tentang serba-serbi mengurus pembelian rumah dengan KPR, simak video berikut ini!
Temukan lebih banyak pilihan rumah terlengkap di Daftar Properti dan Panduan Referensi seputar properti dari Rumah247.com
Tanya Rumah247.comJelajahi Tanya Rumah247.com, ambil keputusan dengan percaya diri bersama para pakar kamiTanya Rumah247.com Sekarang