Rahma Ariyani, pemilik akun Instagram
@homelittle_home, bercita-cita ingin memiliki rumah di klaster. Menurutnya, rumah-rumah dalam klaster lebih tertata dan rata-rata tetangganya adalah keluarga muda, sebaya dengan Rahma dan Angga, suaminya. Selain itu, biasanya ada fasilitas sosial yang telah disediakan seperti taman atau kolam renang.
Pencarian rumah impian ini ternyata tidak semudah yang mereka harapkan. Ada saja hal yang membuat mereka kurang sreg, dari harga rumah yang belum sesuai bujet, luas lahan yang sempit, sampai lokasi yang terlalu jauh dari rumah orang tua.
Ada rumah yang harganya cocok dengan bujet, tapi menurut mereka lahannya terlalu kecil. Sebaliknya, ada rumah yang cukup luas, tapi harganya melampaui bujet. Mereka bahkan sempat mencari tanah dengan harga miring dan terpikir untuk membangun rumah sendiri saja.
Namun hasil takkan mengkhianati usaha. Setelah giat blusukan, sebuah rumah satu lantai dengan luas tanah 100 m2 dan luas bangunan 58 m2 di Kodau, Bekasi, berhasil mereka temukan. Apakah sudah sesuai dengan kriteria yang diinginkan? Ternyata belum. Tapi yang pasti, ada kelebihan yang mereka dapatkan. Klaim dari penjualnya, rumah ini adalah ‘rumah antivirus’!
Mau punya rumah di area Kodau, Bekasi, seperti rumah Rahma dan Angga yang nyaman dan menyenangkan? Temukan pilihan rumahnya dengan harga mulai dari Rp350 juta di sini!
Cerita Rumah Rahma dan Angga: Tertarik Harga Tanah di Bawah NJOP, Ternyata Tanah Sengketa
Rahma dan Angga menikah pada Juni 2019, namun sebelum mengikat janji pun keduanya sudah rajin mencari rumah. Saat itu, pencarian yang mereka lakukan hanya sebatas browsing iklan di situs-situs properti dan media sosial, serta mengunjungi pameran properti. Pasangan ini bahkan rela mengadakan resepsi sederhana, demi bisa mengumpulkan uang muka rumah.
Setelah menikah, karena belum mendapatkan rumah, Rahma dan Angga mengontrak di daerah Bekasi. Sesuai komitmen yang mereka buat pada awal pernikahan, mereka tidak menumpang di rumah orang tua. Tentu orang tua sama sekali tidak keberatan bila anak dan menantunya menumpang, tapi pasangan muda ini ingin belajar hidup mandiri dan menghindari kemungkinan timbulnya konflik.
Meskipun begitu, Rahma dan Angga bertekad membeli rumah sedekat mungkin dari orang tua. Kebetulan, orang tua Rahma tinggal di Jatirahayu, Bekasi, sementara orang tua Angga di Cijantung, Jakarta Timur. Selain dekat dari orang tua, mereka juga ingin rumah itu terjangkau dari kantor Rahma di Plaza Tol Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
“Awalnya kami masih galau. Apakah sebaiknya membeli tanah, rumah indent, rumah siap huni, atau rumah seken? Kami mulai aktif survei lapangan ketika saya sedang hamil lima bulan,” urai Rahma.
Mana Lebih Untung, Membangun Rumah Sendiri atau Beli dari Developer?
Angga dan Rahma sempat mencari tanah di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Mereka tertarik karena harga tanahnya di bawah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Belakangan, mereka mengetahui bahwa itu ternyata tanah sengketa.
“Sejak awal mencari rumah, saya sering membaca
Cerita Rumah di
Rumah247.com. Saya banyak terinspirasi, termasuk tentang pentingnya
legalitas rumah. Waktu itu kami hampir
deal di
Lubang Buaya, tapi akhirnya kami batalkan karena tak berani. Takutnya nanti malah hidup tidak tenang. Selain tanah di bawah NJOP, kami dengar tanah yang hanya punya
Akta Jual Beli (AJB) –belum bersertifikat—juga banyak bermasalah.”
Selain tidak mau membeli tanah yang legalitasnya tidak jelas, Rahma dan Angga mencoba menghitung biaya pembangunan rumah. Dengan harga material dan tenaga kerja saat itu, rasanya biaya yang diperlukan tidak jauh berbeda dari membeli rumah siap huni.
Cerita Rumah Rahma dan Angga: Pertimbangkan Bujet Beli Rumah, Tak Ingin ‘Berdarah-darah’
Setelah mengurungkan niat membeli tanah dan membangun rumah sendiri, Rahma dan Angga mulai berkeliling mencari perumahan klaster di Bekasi. Rahma sebenarnya memang mendambakan tinggal di klaster yang sudah tertata dengan baik.
Mereka menargetkan anggaran di bawah satu miliar untuk rumah pertama ini. Namun ketika melihat-lihat klaster di Bekasi –tepatnya di area yang masih strategis- dari pengembang yang established, mereka terkejut.
“Wah, harga rumah sekecil 45 m2 dengan tanah 60 m2 saja sudah lebih dari satu miliar. Sepertinya anak kami kelak takkan leluasa bergerak dan beraktivitas di sana,” kata Angga.
Rahma pun menambahkan, “Sebenarnya kami sreg dengan beberapa rumah di klaster seharga Rp1,3 miliar. Model rumahnya masa kini, fasadnya juga sudah bagus, jadi tidak perlu ada renovasi lagi. Selain itu, sudah tersedia fasilitas seperti taman atau kolam renang.”
12 Tips Beli Rumah Baru dengan Cermat Agar Tidak Salah Pilih
“Tapi setelah dipikir-pikir, belum tentu kami akan sering memakai fasilitas itu. Apalagi harga rumahnya juga jauh melampaui bujet kami. Bila dipaksakan, takutnya nanti kami ‘berdarah-darah’ secara operasional,” timbang Rahma.
Rahma dan Angga sebenarnya pernah menemukan satu klaster yang cocok di Kampung Sawah, Bekasi. Rahma juga senang karena wilayah itu masih sejuk, masih banyak lahan kosong dan pepohonan. Namun orang tuanya tidak setuju, karena menganggap area itu jauh dari rumah orang tua di Jatirahayu.
“Karena orang tua tidak merestui, kami urungkan niat membeli rumah di sana. Bagi kami, rumah bukan cuma untuk diri sendiri. Ridho orang tua tentu juga membawa keberkahan bagi rumah kami,” ujar Rahma.
Sebenarnya, Angga dan Rahma juga punya pertimbangan lain. Jika ingin mengambil rumah di klaster, mereka harus memakai skema pembayaran KPR. Berarti, sebelum KPR lunas, Sertifikat Hak Milik (SHM) masih dipegang oleh pengembang. Jika kelak ada kebutuhan darurat atau mendesak, mereka takkan leluasa menggadaikan SHM atau menjual rumah.
Cerita Rumah Rahma dan Angga: Rumah ‘Antivirus’ Harga Rp800 Juta, Pandemi Jadi Rp700 Juta
Angga dan Rahma juga pernah melihat-lihat perumahan syariah. Namun skema pembayaran tunai bertahap yang diterapkan oleh pengembangnya agak berat bagi pasangan muda yang baru merintis karir ini. Selain itu, berita-berita miring seputar pengembang syariah bodong juga membuat mereka semakin ragu.
Suatu hari, pada Desember 2020, Angga menemukan iklan rumah dalam listing
properti di jual di
Rumah247.com. Rumah itu memang dibangun pada 2018, tapi sama sekali belum pernah ditempati karena pemiliknya dinas di luar kota.
Yang menarik, rumah ini diiklankan sebagai rumah antivirus. Rahma dan Angga penasaran, apakah istilah ini sekadar trik marketing untuk menarik pembeli? Pada masa pandemi Covid-19 ini, siapa sih yang tak ingin memiliki rumah antivirus – kalau ada? Rahma dan Angga langsung menghubungi pihak penjual dan mendapatkan link YouTube yang menampilkan video dan informasi rumah tersebut.
“Ternyata seperti dugaan saya, rumah ini diklaim antivirus karena sirkulasi udaranya yang baik. Plafonnya tinggi (6 meter), banyak jendela dan ventilasi, model rumahnya open space. Ada sisa tanah untuk halaman depan dan belakang,” tutur Angga. Yang juga penting, rumah ini terletak di Kodau, masih di area Bekasi – dekat dari rumah orang tua Rahma—dan harganya masih masuk bujet.
12 Tips Rumah Sehat Bebas Penyakit
Pertama kali Rahma dan Angga melihat rumah itu, mereka langsung sreg dengan desain dan material bangunannya. Pondasi cakar ayam membuat mereka leluasa bila ingin membangun tingkat dua. Rahma juga lebih senang karena material rumah itu memakai bata merah, bukan hebel. Menurutnya, bata merah membuat rumah lebih adem dan meminimalkan risiko retak rambut.
“Mungkin karena rezeki dan sudah jodoh, kami bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Sebelum pandemi, rumah ini dipasarkan dengan harga Rp800 juta lebih. Karena sedang pandemi, harganya diturunkan jadi 700 juta. Kami berhasil menawar dan akhirnya deal di harga Rp625 juta.
Pemiliknya bahkan mau menambahkan tangga putar agar kami bisa menjemur baju di dak atas. Selain itu, si pemilik juga menyediakan tanaman dan rumput taman depan dan belakang. Alhamdulillah,” ujar Rahma.
Cerita Rumah Rahma dan Angga: Beli Rumah Pakai Pembiayaan Bank Syariah dengan Akad Mudarhabah
Setelah menemukan rumah untuk dibeli, Rahma dan Angga harus mencari skema pembiayaan yang cocok. Mereka galau memilih bank yang bisa memberikan fixed rate atau setidaknya suku bunga yang lebih rendah.
Kebetulan, kantor Rahma menawarkan program pembiayaan multiguna yang bekerja sama dengan bank syariah. Program ini khusus ditujukan untuk karyawan BUMN dan ASN. Sistem pembayarannya dengan potong gaji per bulan. Namun jika Rahma bisa melunasi lebih cepat, ia takkan kena penalti seperti bila mengambil KPR di bank konvensional.
“Saya juga tertarik karena dengan model pembiayaan ini, karena kami boleh langsung mendapatkan SHM rumah setelah bank melunasi pembayarannya,” kata Rahma. Mereka pun memutuskan mengambil pinjaman dengan tenor 15 tahun.
Rahma dan Angga membayarkan uang muka sebesar 25% pada penjual. Selanjutnya, Rahma melakukan akad mudarhabah dengan bank syariah. Pihak bank menjelaskan ada margin atas pinjaman yang diberikan. Rahma bisa mencicilnya dengan jumlah tetap per bulan, yang langsung dipotong dari gajinya sebesar 30%. Skema pembayaran yang pasti ini membuat Rahma dan Angga merasa aman.
Mengenal Bank Syariah, Panduan Beli, Konsep, Akad, Kelebihan
Pembayaran dari bank pada penjual rumah dilakukan secara bertahap, yakni dua kali dalam kurun waktu dua minggu. Pembayaran pertama berjumlah lebih besar dari yang kedua. Akhirnya, pada Februari 2021, Rahma dan Angga resmi menempati rumah baru mereka.
Sesungguhnya ada sedikit ganjalan sebelum Rahma dan Angga mengambil rumah di Kodau, Bekasi, karena rumahnya terletak di dalam gang. Mereka yang awalnya mendambakan tinggal di dalam klaster tentu harus menimbang lebih lama sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Rahma ingin tinggal di klaster, antara lain karena tetangganya rata-rata sebaya dengannya. Sebaliknya, warga di perkampungan dalam gang tentu sangat heterogen. Tapi setelah berdiskusi dan dinasihati oleh orang tuanya, hatinya luluh juga.
Cerita Rumah Rahma dan Angga: Rumah dalam Gang yang Bikin Hati Senang dan Tenang
“Mbak lihat saja, warga kampung dalam gang itu gotong royongnya lebih kuat, lho. Ketika kita memerlukan bantuan, mereka akan selalu ada,” kata ibu Rahma.
Setelah menempati rumah barunya, Rahma merasakan kebenaran ucapan ibunya.
“Memang benar, kebanyakan tetangga saya sudah berusia ‘senior’. Namun mereka selalu siap membantu, bahkan menawarkan bantuan. Apalagi, saya dan suami bekerja, sementara anak kami –Rayyan- di rumah dengan adik saya dan ART. Kami sesekali meminta tolong pada tetangga untuk memantau anak kami.”
Di lingkungan ini, tradisi saling mengantarkan makanan, kerja bakti, juga rapat RT masih selalu dilaksanakan. Bagi Rahma, rumah seharusnya bukan hanya menjadi berkah dan manfaat bagi penghuninya, tetapi juga untuk lingkungan sekitarnya.
Salah satu manfaat yang diberikan Rahma dan Angga adalah mengikhlaskan 1,5 meter tanah di bagian depan rumah untuk jalanan. Akibatnya, bentuk lahan rumah mereka serong. “Seperti trapesium-lah,” kata Rahma sambil tergelak.
Angga pun menambahkan, “Sejak awal, ketua RT sini sudah minta izin pada kami agar bagian tanah itu tidak dibangun. Kalau tidak, mobil akan sulit keluar masuk gang. Ya tidak apa-apa, kami ikhlaskan.”
Kini sudah tujuh bulan keluarga Rahma, Angga, dan putra mereka Rayyan menempati rumah antivirus mereka, rumah dalam gang yang buat hati senang dan tenang. Rahma masih punya impian untuk rumah itu. Ia ingin membuat ruang salat, membangun lantai mezanin dan kolam ikan di halaman belakang. Sisa tanahnya seluas 42 m2 masih cukup untuk mewujudkan mimpi itu.
Kelak bila ada rezeki, Rahma dan Angga ingin sekali bisa memiliki rumah di Bandung atau Yogyakarta. Mereka memiliki kenangan manis di dua kota itu, sehingga ingin menghabiskan masa tua di salah satunya. Namun untuk sekarang, mereka masih ingin menata dan berkreasi di rumah pertamanya.
Itulah cerita pengalaman Rahma dan Angga dalam mewujudkan rumah impian mereka. Nyaris membeli tanah sengketa, akhirnya dapat rumah ‘Antivirus’ dekat rumah orang tua yang harganya di bawah bujet mereka. Masih banyak lagi kisah seputar perjuangan mewujudkan mimpi punya rumah sendiri lainnya yang juga tak kalah menginspirasi. Temukan kisahnya hanya di Cerita Rumah.
Hanya Rumah247.com yang percaya Anda semua bisa punya rumah
Teks: Eyi Puspita, Foto: Adi Rachman