Mungkin tak banyak orang seperti Akbar Pandu Pratama. Sejak masih melajang dan baru terjun ke dunia kerja, ia sudah tergerak untuk punya rumah. Harapannya, kelak setelah menikah, ia dan istrinya bisa langsung menghuni rumah sendiri. Jadi tak perlu repot lagi soal urusan tempat tinggal. Mereka hanya perlu memikirkan kebutuhan lain, seperti misalnya pendidikan anak.
Pada perjalanan mewujudkan mimpinya, banyak tantangan yang harus dihadapinya. Namun semua berhasil dilaluinya, perjuangannya tidak sia-sia karena impiannya punya rumah menjadi nyata.
Kini sebuah rumah di Cluster Sudimara Bintaro telah menjadi hunian yang nyaman bagi Pandu, Aisyah istrinya, dan anak mereka, Arsya. Bahkan, berkat keberaniannya membeli rumah di usia muda, cicilan KPR-nya untuk saat ini tergolong ringan, di angka Rp 2,3 juta saja.
“Mana ada sih, cicilan rumah baru di klaster Bintaro cuma 2,3 juta sekarang?” kata Pandu sambil tertawa di halaman rumah seluas 99 m2 dan luas bangunan dua lantai 160 m2 yang baru selesai renovasi ini.
Ingin punya rumah di Sudimara, Tangerang Selatan, seperti rumah Pandu yang fasilitas kawasannya tengah berkembang pesat dan ke stasiun KRL juga dekat? Cek pilihan rumahnya mulai dari Rp350 jutaan di sini!
Cerita Rumah Pandu: Cari Rumah Mulai dari Pameran Properti Hingga Booking Unit Apartemen Subsidi
“Sebelum menikah, saya tinggal bersama orang tua di Sudimara, Tangerang Selatan. Namun sejak dulu, ayah mendidik saya untuk bertanggung jawab sebagai seorang laki-laki. Karena itu, ketika sudah bekerja, saya kepikiran mulai mencari-cari rumah. Daripada penghasilan dipakai untuk keperluan yang tak jelas, saya beranikan diri membeli rumah,” kenang Pandu.
Pandu sempat mengunjungi sejumlah pameran properti. Namun kesimpulan yang didapatnya: Ia harus mencari hunian di dekat rumah masa kecilnya. Pasalnya, ada beberapa perumahan yang Pandu taksir di pameran tetapi ketika meninjau langsung ke lokasi, ia selalu merasa area perumahannya terlalu jauh.
Pandu juga pernah dua kali tertarik membeli unit apartemen bersubsidi. Ia bahkan sudah membayar booking fee. Karena proses pembangunan apartemen cukup lama, Pandu resah. “Kapan jadinya, apartemen ini?” pikirnya saat itu. Akhirnya, ia mengalihkan unit itu pada temannya. Si teman mengganti uang booking fee Pandu – dengan sedikit selisih.
Mau Punya Rumah di Usia Muda? Bisa!
Orang tua dan kerabat Pandu juga beberapa kali memberikan informasi tentang rumah yang dijual di daerah sana-sini. Namun saat itu Pandu masih juga belum sreg. Lama kelamaan, harga rumah pun melesat tinggi.
Hingga pada suatu hari, seorang kawan SMA menawari Pandu untuk membeli rumah di sebuah kompleks baru di Sudimara. Rupanya, si kawan bekerja sama dengan pengembang untuk membangun klaster di tanah milik ayahnya. Sayang, harga rumah di sana tidak terjangkau oleh kocek Pandu saat itu.
Namun Pandu tak sampai menyesal berkepanjangan, karena jodoh rumahnya akhirnya datang juga. Tak lama, si kawan menawarkan kompleks lain pada Pandu. Namanya Cluster Sudimara Bintaro. Lokasinya pun hanya sekitar 20 meter dari kompleks pertama. Terletak di dalam jalan kecil di seberang stasiun KRL Sudimara.
Cerita Rumah Pandu: Berani Nego Cicil Uang Muka Rp80 Juta, Yakin Akan Potensi Sudimara
“Saat saya pertama kali meninjau lokasi, klaster itu masih berupa lahan kosong yang ditancapi umbul-umbul. Terus terang, waktu itu saya agak gambling ketika berniat membeli rumah yang masih indent. Saya tidak tahu akan jadi seperti apa klaster ini nantinya. Hanya bisa pegang ucapan teman saya dan pengembang,” urai Pandu.
Saat itu tahun 2012. Lingkungan sekitar klaster belum tertata rapi, jalan kecilnya ramai. Kondisi stasiun KRL Sudimara juga belum sebagus sekarang. Namun Pandu yakin lokasi Sudimara cukup potensial.
“Sejak SMP, saya sudah menjadi pelaju dari Sudimara ke Kebayoran setiap hari, karena saya bersekolah di sana. Ketika kuliah di Solo, Jawa Tengah, saya juga kerap memakai kereta. Jadi saya yakin kalau lokasi sekitar stasiun KRL akan semakin maju. Apalagi, klaster ini juga dekat dari rumah orang tua saya. Jadi saya putuskan untuk mengambil rumah di sini.”
Mau cari rumah, ruko, apartemen, atau investasi properti? Pahami potensi wilayahnya mulai dari fasilitas, infrastruktur, hingga pergerakan tren harganya pada laman AreaInsider.
Klaster ini terdiri atas 90 rumah yang dibagi dalam enam blok. Ada tiga tipe rumah yang ditawarkan oleh pengembang: 36/72, 45/72, dan 54/72. Menyesuaikan kemampuannya, Pandu memilih tipe 36/72 yang terletak di blok paling belakang. Harga rumahnya sebesar Rp280 juta. Setelah berhitung, inilah yang paling terjangkau oleh Pandu.
Pandu lalu bernegosiasi dengan pengembang agar bisa mencicil uang muka rumah sebesar Rp80 juta saat itu. Pengembang awalnya agak keberatan, tapi akhirnya menyetujui juga. Mungkin karena Pandu salah satu pembeli pertama. Apalagi, ia membeli pada musim hujan saat kondisi lahannya becek dan berlumpur. Tentu tak sedap dipandang.
Namun selain uang muka, ada lagi yang harus dibayar Pandu, yakni kelebihan tanah. Pengembang menginfokan bahwa setiap kavling sebenarnya punya kelebihan tanah. Walaupun Pandu memilih tipe 36/72, tapi luas tanahnya ternyata 95 m2. Kelebihan 23 m2 itu dihargai Rp750ribu/meter dan dimasukkan ke dalam uang muka.
Cerita Rumah Pandu: Bayar Kelebihan Tanah Lagi Saat Proses Pemecahan Sertifikat, Harganya Naik Berlipat
“‘Musuh’ pembeli rumah adalah uang muka. Karena itulah, saya mencicil sampai 1,5 tahun. Satu tahun pertama, saya mencicil uang muka sebanyak delapan kali. Setengah tahun berikutnya, saya mengumpulkan uang untuk membayar kelebihan tanah. Akhirnya saya gadaikan SK PNS. Untung saat itu saya masih lajang, jadi lebih leluasa mencicil.”
Tahun 2013, sebelum akad kredit KPR dilakukan, Pandu mendapat kejutan yang tak menyenangkan. Ketika proses pemecahan sertifikat di BPN akan dilakukan, Pandu baru tahu kalau luas tanah yang tertulis di sertifikatnya adalah 99 m2. Berarti ada kelebihan 4 m2 lagi yang harus ia bayar.
“Wah, saya kecewa sekali. Masa saya harus bayar lagi? Apalagi harga tanahnya sekarang sudah Rp2,5 juta per m2. Sempat ‘rame’, deh. Awalnya, saya minta pada pengembang untuk mengembalikan uang muka rumahnya saya. Sedikit bercanda, saya katakan: Bawa truk saja ke rumah saya, lalu kelebihan 4 meter persegi itu angkut sajalah,” ujarnya seraya tertawa.
12 Biaya Beli Rumah yang Penting untuk Diperhitungkan
“Pengembang tadinya hampir setuju mengembalikan uang muka saya. Bagaimana pun, harga rumah yang mereka jual sudah naik. Waktu saya beli indent pada 2012, masih Rp280 juta. Pada 2013, harganya sudah Rp375 juta. Nilai tanahnya memang naik terus per minggu,” urai Pandu.
Setelah berembuk dengan pengembang, akhirnya kedua pihak menyepakati jalan tengah. Pandu tetap akan membayar kelebihan tanah 4 m2, tetapi tidak secara tunai, melainkan dibebankan ke KPR.
“Sebagai pembeli, sebenarnya yang kami butuhkan sejak awal adalah kepastian apa saja biaya tambahan dan berapa total uang yang harus kami keluarkan. Selain besar cicilan KPR, semua serba tak pasti dan tidak diinfokan sejak awal. Bikin emosi, kan?! Apalagi saya tidak bisa membayar dengan cash keras, mengandalkan cicilan.”
Cerita Rumah Pandu: Tentang Resah Biaya Tambahan Beli Rumah, Pilih KPR Konvensional atau KPR Syariah
Keresahan Pandu memang beralasan, karena jenis biaya yang harus disiapkan saat membeli rumah memang cukup beragam. Setidaknya ada delapan biaya tambahan yang harus diperhatikan, yakni: biaya cek sertifikat tanah, AJB, biaya balik nama, PPh, PNBP, BPHTB, biaya KPR (provisi dan administrasi) serta jasa notaris.
Bila konsumen tidak terinfokan mengenai biaya-biaya tambahan ini sejak awal, tak heran jika banyak yang kaget dan tidak siap. Anda bisa mendapatkan informasi lengkap terkait panduan beli rumah agar siap dan tak salah langkah di laman panduan properti rumah247.com.
Ada cerita lain di balik pengajuan KPR Pandu. Ia diwajibkan mengambil KPR di bank yang bekerja sama dengan pengembang. Namun Pandu dipersilakan memilih antara KPR konvensional atau KPR syariah.