Het Huis dalam bahasa Belanda berarti ‘rumah’. Itulah sebutan rumah yang dihuni Dwica Novita bersama suami, Ramadhan Indra Mulya dan buah hati, Kamayel Najandra Mulya (2 tahun). Rumah dengan artistektur berbentuk kotak yang mencuri perhatian. Sebuah rumah compact yang mungil dengan halaman yang luas.
Rumah ini bisa terwujud juga berkat buah kegigihan mereka. Pasangan ini rela berhemat selama dua tahun agar dapat membangun rumah tanpa bantuan kredit bank. Di luar rencana, pandemi juga memungkinkan mereka mempercepat terkumpulnya tabungan untuk rumah.
Mau punya rumah di area Kelapa Dua, Depok, seperti rumah Dwica yang kawasan sekitar perumahannya tengah maju pesat dan akses ke pusat Jakarta juga cepat? Temukan pilihan rumahnya dengan harga mulai dari Rp300 jutaan di sini!
Rumah Dwica yang berlokasi di kawasan Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, kini telah berdiri. Rumah dengan luas tanah 158 m2 dan luas bangunan 58 m2 ini sekaligus menjawab kebutuhan mereka akan sebuah hunian yang fungsional.
Cerita Rumah Dwica: Harga Rumah Klaster Milyaran Rupiah, Pertimbangkan Tawaran Tanah dari Mertua
Rumah Minimalis
Sebelum menikah, Dwica dan pasangan sepakat untuk tinggal di rumah milik sendiri. Tetapi mereka sadar harus bersabar sampai dana untuk beli rumah terkumpul. Tabungan yang mereka punya sebelumnya telah dipakai untuk biaya menikah.
Sang suami menawarkan untuk tinggal sementara bersama orangtuanya dulu setelah menikah. Dengan pertimbangan, kalau kontrak rumah ada biaya yang harus dikeluarkan, jadi biaya tersebut bisa dialihkan untuk tabungan rumah.
Setelah menikah pada Desember 2018, mereka sempat mengecek harga rumah klaster di sekitar tempat usaha suaminya. “Suami punya toko bahan bangunan di Kelapa Dua, Depok. Kami cari rumah yang lokasinya juga dekat tempat usaha suami dan kebetulan tidak jauh juga dari tempat kerja saya saat itu di Rumah Sakit Universitas Indonesia,” papar Dwica.
Namun rumah klaster yang mereka sempat lihat-lihat harganya sudah sangat tinggi sampai milyaran rupiah dan mensyaratkan uang DP rumah yang telah melampaui batas dana yang akan mereka alokasikan untuk beli rumah. “Hmmm…. buat bayar DP rumah klaster bisa untuk bangun rumah sendiri,” gumam perempuan kelahiran tahun 1992 ini.
Mau cari rumah, ruko, apartemen, atau investasi properti? Pahami potensi wilayahnya mulai dari fasilitas, infrastruktur, hingga pergerakan tren harganya pada laman AreaInsider.
Terbentur keterbatasan dana tersebut, mereka mempertimbangkan kembali penawaran sang mertua. Mertua Dwica punya tanah kosong dari turun-temurun keluarganya dan meminta mereka memanfaatkan tanah tersebut untuk membangun rumah mereka.
Kebetulan tanah seluas 158m2 tersebut berada tak jauh dari toko suami yang bisa diakses dengan lima menit berjalan kaki. Mereka pun mulai berencana untuk fokus pada langkah selanjutnya.
Langkah awal adalah membeli tanah tersebut, atau setidaknya memberikan uang pengganti ke mertuanya untuk pemakaian tanahnya. Namun niatan ini ternyata ditolak sang mertua.
Cerita Rumah Dwica: Khawatir Biaya Hidup Bertambah, Pilih Menabung Buat Bangun Rumah
“Mereka bilang, udahlah ini kan tanah keluarga yang dibeli dari jaman dulu dengan harga masih murah banget, tidak seperti sekarang. Lagipula tanah ini bukan untuk dijual, memang buat anak-anak. Pakai saja tanahnya, yang penting bangun rumahnya kalian urus sendiri. Begitu pesan orangtua,” kenang Dwica.
Selain tanah kosong, mereka juga diberi pilihan lain yaitu menempati rumah yang tak terpakai. Namun pilihan kedua itu ditolak dengan beberapa pertimbangan yang diutarakan Dwica.
“Renovasi total rumah seperti yang kami mau, butuh biaya lebih besar. Rumah aslinya harus dibongkar dulu buat dibangun ulang. Jadi kami pilih tanah kosong untuk menekan biaya,” ujarnya.
Keputusan pun sudah diambil, dengan berbagai pertimbangan mereka pilih memakai tanah kosong dari orang tua Ramadhan. Dan tahap selanjutnya adalah membangun rumahnya, namun rencana bangun rumah sementara juga mesti ditunda, menunggu tabungan mereka cukup buat biaya bangun rumah.
Mana Lebih Untung, Membangun Rumah Sendiri atau Beli dari Developer?
Mereka memang lebih memilih menabung untuk membiayai pembangunan rumah mereka, menghindari mengambil Kredit Bangun Rumah (KBR) dari bank maupun bentuk pinjaman lainnya.
“Kalau ambil kredit rata-rata tenor sekitar 10 sampai 15 tahun. Sementara kemampuan finansial kami ke depannya nggak bisa diprediksi. Kami khawatir nantinya biaya hidup semakin bertambah sehingga kami kesulitan bayar cicilan rumah,” ungkap Dwica.
Lebih lanjut ia menjelaskan, “Saat ini biaya hidup kami masih minim sehingga bisa diprioritaskan untuk kebutuhan rumah dulu yang utama. Lebih baik kami berhemat, susah-susah dulu sekarang.”
Cerita Rumah Dwica: Target Bangun Rumah Rp400 Juta, Tabungan Terbantu Angpao Nikah
Rencana bangun rumah mereka awali dengan menentukan besaran dana untuk bangun rumah, dan jangka waktu yang dibutuhkan. Selain merencanakannya sendiri, bantuan informasi dari laman panduan properti Rumah.com tentang tips membangun rumah sesuai bujet dan tepat waktu menjadi masukan juga bagi mereka.
“Di awal nikah, kami dapat rezeki. Saya langsung hamil. Menurut kami, kalau anak sudah semakin besar, kami harus tinggal mandiri, tidak bisa lagi tinggal bareng orangtua untuk menghindari adanya singgungan yang tidak diinginkan nantinya. Kami menargetkan dua tahun untuk mengumpulkan dana buat rumah,” jelas Dwica.
Sementara dana yang mereka harus persiapkan adalah Rp400 juta dalam waktu dua tahun. “Kami setting Rp300 juta untuk biaya bangun rumah dan Rp100 juta untuk dana darurat karena biasanya ada tambahan biaya-biaya tak terduga,” ungkapnya.
Dari total dana yang dibutuhkan tersebut, mereka berhitung dana yang harus disisihkan per bulan untuk tabungan bangun rumah. Kebetulan mereka sudah punya dana awal sekitar 20-25 persen dari angpao yang mereka peroleh saat menikah.
Financial planning membuat tujuan dari perencanaan keuangan jadi lebih mudah dicapai.
“Angpao sengaja nggak kami pakai dan disimpan buat tabungan rumah. Simpanan awal itu lumayan banget bikin kami lebih ringan buat saving bulanan,” cerita penyuka jalan-jalan dan baca buku ini.
Ketika itu Dwica masih bekerja, sampai akhirnya ia memutuskan berhenti bekerja pada Februari 2020 lalu sehingga mereka bisa sisihkan jumlah dana lebih besar untuk tabungan rumah. Pasangan ini juga sampai rela mengurangi kebutuhan tersier demi menyisihkan dana yang lebih banyak untuk rumah impian mereka.
“Penghasilan kami benar-benar dipakai cuma buat kebutuhan premier. Kami sanggup alokasikan dana sekitar 20-30 persen dari penghasilan untuk tabungan rumah. Kadang pengeluaran kami juga tidak sampai 50 persen dan sisanya kami alihkan lagi ke dana rumah,” ujar Dwica.
Cerita Rumah Dwica: Keterbatasan Dana Bikin Lima Arsitek Menolak Bangun Rumah Mereka
Ketika pandemi COVID-19 dan pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), praktis bujet hiburan dan jalan-jalan jadi berkurang. Dengan begitu mereka bisa menyimpan dana yang lebih besar lagi buat tabungan rumah.
“Rezeki setelah menikah ternyata ada saja. Kami hitung dana sudah terkumpul sesuai yang dibutuhkan dalam waktu satu tahun saja. Lebih cepat dari yang kami targetkan,” papar Dwica. Tanah telah tersedia, dana pun ada, mereka pun siap melangkah ke jenjang berikutnya, membangun rumah.
Gemar melihat-lihat desain rumah di media sosial Instagram, pasangan ini berharap bisa dibantu oleh arsitek dalam mewujudkan rumah impiannya. Namun mereka ragu ada arsitek yang bersedia, mengingat keterbatasan dana yang mereka punya. Tapi, apa salahnya mencoba, begitu pikir mereka.
Dari hasil penelusuran di Instagram maupun situs desain dan arsitektur rumah, pasangan ini tertarik dengan portfolio karya lima arsitek. Kemudian mereka hubungi pilihan arsitek tersebut, namun gugur satu per satu seperti yang mereka khawatirkan.
Tips Rumah.com
Saat renovasi atau bangun rumah, pilih arsitek yang sesuai dengan anggaran. Meskipun jasa arsitek punya acuan tarif umum, namun tidak dipungkiri arsitek rumah yang berpengalaman dan telah dikenal akan karya-karyanya memiliki tarif yang lebih tinggi.
“Bujet minimal mereka di atas yang kami punya dan ada biaya administrasi yang cukup besar, jadi mereka tidak bisa bantu. Udahlah, sewaktu hubungi arsitek yang terakhir, kami pasrah bakal ditolak juga. Eh, ternyata mereka justru menyanggupi,” kata Dwica.
Meski mereka mencari referensi arsitek dari media sosial, Dwica tetap selektif memilih arsitek dengan track record yang baik. “Ngeri juga kalau kena arsitek dan kontraktor yang zonk. Sebagai antisipasi, kami lebih berhati-hati dan ikut memantau saat proses pengerjaannya,” saran Dwica.
Pembangunan rumah akhirnya berlangsung selama delapan bulan, mulai pada November 2020 dan selesai Agustus 2021. Kontraktor yang dipakai merupakan rekanan arsitek sehingga proses pengerjaan turut dipantau oleh arsitek.
Cerita Rumah Dwica: Bangun Rumah Sesuai Bujet RAB Rp300 Juta Tanpa Tambahan Biaya
Selain terima laporan perkembangan dari pihak arsitek dan kontraktor, secara berkala Dwica bersama suami juga mendatangi langsung proyek pembangunan rumahnya untuk memastikan kerja kontraktor.
“Pengerjaan delapan bulan rasanya lama. Padahal tiap kami cek ke sana memang dikerjakan oleh tukangnya. Waktu pengerjaan sesuai yang tercantum di RAB yang dibuat oleh arsitek di awal. Pun soal biaya, sesuai RAB Rp300 juta, tidak ada tambahan biaya lagi,” papar Dwica.
Sebagai antisipasi kalau arsitek mangkir dari perjanjian, sistem pembayaran dilakukan secara bertahap dengan tiga termin, pertama 40%, kedua 40%, dan terakhir setelah rumah selesai yaitu 20%.
Di atas tanah 158 m2, rumah dibangun seluas 58 m2 dengan dua lantai. Di lantai bawah ada ruang keluarga, ruang makan, dan dapur. Di lantai atas, ada kamar utama, kamar anak, dan kamar mandi. Rumah ini dibangun sesuai kebutuhan Dwica dan keluarga saat ini.
5 Cara Membuat RAB (Rencana Anggaran Biaya) Rumah dan Contohnya
“Konsep rumah disesuaikan dengan bujet yang mepet juga sih, ha ha ha. Bukan rumah minimalis, tapi minim abis. Kami ditanya arsiteknya, mau rumah besar atau kecil? Dengan bujet yang terbatas katanya bisa buat rumah yang besar tapi nggak tingkat,” jelas Dwica.
Ia menambahkan, “Kalau rumah kecil bisa ditingkat. Karena kami keluarga kecil, cuma bertiga, kami pilih rumah yang kecil supaya gampang beres-beres. Plusnya, jadi punya halaman yang luas, apalagi saya suka tanaman.”
Dwica dan suami memang menginginkan rumah sehat dengan banyak bukaan untuk cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Sang arsitek membuatkan konsep open space dengan ruangan tanpa sekat serta jendela dan pintu dari kaca.
Cerita Rumah Dwica: Rumah Baru Berdiri, Belum Finishing Tak Sabar Buru-buru Ditempati
Dengan konsep rumah tumbuh, nantinya rumah ini dapat diperluas menambah ruangan sesuai kebutuhan keluarga ini kelak tanpa menganggu struktur bangunan yang ada.
Untuk menghemat biaya, arsitek menyarankan dinding dan lantai rumah mereka pakai semen ekspos yang artistik dan sedang tren ala-ala industrial. Pasangan ini menyetujui, kecuali untuk lantai mereka tetap pilih keramik.
“Harga keramik lantai yang mau dipakai arsitek lumayan mahal. Kami request untuk beli keramik sendiri supaya cari yang lebih murah. Kebetulan suami punya usaha bahan bangunan, arsitek dan kontraktor setuju. Jadi kami yang sediakan material keramiknya, mereka tinggal pasang, jadi dikenai biaya pasang saja,” ungkap Dwica.
Temukan juga beragam tips, panduan, dan informasi mengenai pembelian rumah, kpr, pajak, hingga legalitas properti di Panduan Rumah.com.
Tak sabar menempati rumah baru, Dwica bersama keluarga memutuskan pindah pada Agustus 2021. “Menurut kami, rumah sudah bisa ditempati, tinggal finishing saja. Kontraktor dan arsitek sih pengen benar-benar beres dulu. Tapi kami buru-buru mau tempati, ha ha ha,” ujar Dwica.
Ketika pindah pun, rumah juga belum lengkap diisi barang-barang. “Kami nggak punya barang untuk dibawa, karena waktu tinggal di rumah mertua semua sudah lengkap tersedia. Jadi kami beli barang bertahap dan diprioritaskan yang penting dulu,” tutur Dwica.
Saat pindah, mereka baru punya tempat tidur, kulkas, rice cooker, dan dispenser. Bahkan AC dan TV belum ada, yang kemudian pelan-pelan dilengkapi. “Karena ukuran rumah yang kecil, jadi kalau mau beli barang harus fungsional. Kami pikirkan dulu mau ditaruh di mana. Seringkali akhirnya malah nggak jadi beli ha ha ha,” paparnya.
Cerita Rumah Dwica: Sempat Tinggal di Ruko Demi Wujudkan Rumah Impian, Rumah Tempat untuk Pulang
Tapi sebenarnya ada hal lain yang bikin pasangan ini punya motivasi kuat untuk segera punya rumah sendiri. Jadi ternyata mereka sempat tinggal di ruko yang bagian bawahnya tempat usaha mereka menjual bahan bangunan, dan bagian atas adalah tempat mereka tinggal.
“Suami ingin tinggal di rumah yang benar-benar tempat untuk pulang. Pulang kerja ya pulang ke rumah. Kalau tinggal di ruko, pulang kerja nggak berasa pulang katanya. Dia ingin rumah sebagai tempat pulang,” ungkap Dwica.
Sang suami yang merupakan lulusan Sastra Belanda pun memilih nama Het Huis yang bermakna rumah untuk hunian keluarganya. Dan setelah menghuni rumahnya, Dwica pun tergugah untuk berbagi cerita tentang rumahnya.
TANYA RUMAH.COM
Jelajahi Tanya Rumah.com, ambil keputusan dengan percaya diri bersama para pakar kami
Tanya Rumah.com Sekarang
“Saya suka cerita dan nulis. Jadi saya sengaja buat akun Instagram khusus untuk sharing tentang rumah kami dengan nama akun @het.huis. Dengan begitu kami bisa berbagi info atau inspirasi yang mungkin bermanfaat dari rumah kami. Hitung-hitung buat jejak memori juga,” papar Dwica.
Setelah berhasil mewujudkan mimpi untuk punya rumah sendiri, Dwica mengaku tertarik untuk berinvestasi di bidang properti, seperti membuat kos-kosan yang banyak dibutuhkan di kawasan Kelapa Dua, Depok.
Itulah cerita Dwica yang berhasil mewujudkan rumah impiannya berbekal tabungan dan angpao nikah. Rumah minimalis yang berhasil dibangun dengan bujet minim abis. Masih banyak lagi kisah seputar perjuangan mewujudkan mimpi punya rumah sendiri lainnya yang juga tak kalah menginspirasi. Temukan kisahnya hanya di Cerita Rumah.
Hanya Rumah.com yang percaya Anda semua bisa punya rumah