Rumah247.com – Masalah kredit macet dengan Non Performing Loan (NPL) sedang ramai dibicarakan. Ada berbagai sumber permasalahan kredit yang umumnya dihadapi oleh pihak bank. Salah satunya adalah musibah atau bencana di mana sumber pendapatan debitur terkendala, sebagaimana yang terjadi saat pandemi Covid-19. Masalah perlambatan piutang pun dapat mengakibatkan kredit bermasalah.
Non Performing Loan adalah kondisi pinjaman dengan kondisi debitur gagal melakukan pembayaran yang dijadwalkan untuk jangka waktu tertentu. Di perbankan, status kredit dapat dikategorikan NPL apabila kondisi pinjaman dengan tingkat bunga senilai 90 hari telah dikapitalisasi, dibiayai kembali, atau ditunda karena perjanjian atau amandemen perjanjian awal.
NPL juga diartikan dalam kondisi pinjaman yang pembayarannya terlambat kurang dari 90 hari, tetapi pemberi pinjaman tidak lagi percaya bahwa debitur akan melakukan pembayaran di masa depan. Termasuk juga dalam kondisi jika pinjaman yang jatuh tempo pembayaran pokoknya telah terjadi, tetapi sebagian dari pinjaman tersebut masih belum dilunasi.
Tingginya persentase NPL dalam suatu bank menjadi salah satu penyebab bank mengalami kesulitan dalam menyalurkan kembali kredit. Bank tetap harus menjaga persentase NPL dibawah 5 persen sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Oleh karena itu, beberapa bank memilih untuk menjual NPL ke bank lain atau investor untuk membebaskan modal dan/atau fokus pada pinjaman yang menghasilkan pendapatan. Pada artikel kali ini, akan dibahas secara lengkap soal isu NPL dan cara mengantisipasinya.
Apa Itu Non Performing Loan (NPL)?
NPL merupakan kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. NPL juga mengacu pada kondisi dimana debitur tidak dapat membayar kewajibannya terhadap bank yaitu kewajiban dalam membayar angsuran yang sudah dijanjikan diawal.
Mencermati definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Non Performing Loan (NPL) merupakan cara untuk mengukur besar kecilnya persentase kredit bermasalah pada suatu bank yang akibat dari ketidaklancaran nasabah dalam melakukan pembayaran angsuran. NPL pun dibagi menjadi 5 kategori yaitu:
Adapun bank dalam mempertahankan kualitas kredit harus memperhatikan prinsip prudential, yaitu prinsip kehati-hatian dalam melakukan pemberian kredit. Kualitas kredit dapat dilihat dari besar kecilnya persentase dari NPL atau kredit macet. Bank Indonesia sudah menetapkan batas maksimal dari NPL atau kredit macet yaitu 5 persen. Semakin kecil persentase dari NPL, maka bank akan mendapatkan laba yang stabil.
Ini artinya NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam bank tersebut yang mana jika tidak segera mendapatkan solusi maka akan berdampak bahaya pada bank. Oleh karenanya, saat mengambil KPR rumah, baiknya mencari bank yang memiliki nilai NPL rendah. Rumah strategis di Sawangan, Depok 3 kamar tidur bisa menjadi hunian pertama Anda.
Pengertian Rasio Non Performing Loan (NPL)
Rasio NPL merupakan salah satu indikator kesehatan kualitas aset bank. NPL yang digunakan adalah NPL neto yaitu NPL yang telah disesuaikan. Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset Bank dan kecukupan manajemen risiko kredit. Dengan demikian, rasio NPL merupakan indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi bank.
Hal itu dikarenakan NPL yang tinggi adalah indikator gagalnya bank dalam mengelola bisnis antara lain timbul masalah likuiditas (ketidakmampuan membayar pihak ketiga), rentabilitas (hutang tidak dapat ditagih), dan solvabilitas (modal berkurang). Laba yang merosot adalah salah satu imbasnya karena praktis bank kehilangan sumber pendapatan disamping harus menyisihkan pencadangan sesuai kolektibilitas kredit. Rasio NPL mencerminkan juga risiko kredit, semakin tinggi tingkat NPL maka semakin besar pula risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank.
Penyebab Terjadinya Non Performing Loan (NPL) di Indonesia
Ada berbagai sumber permasalahan kredit yang umumnya dihadapi oleh pihak bank. Salah satunya adalah musibah atau bencana di mana sumber pendapatan debitur terkendala. Kemudian, masalah perlambatan piutang pun dapat mengakibatkan kredit bermasalah. Ternyata masih banyak lagi penyebab terjadinya NPL. Apa saja?
Faktor yang Memengaruhi NPL
Seperti dijelaskan sebelumnya, kredit bermasalah ialah kredit yang tidak lancar atau kredit dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang diperjanjikan misalnya persyaratan pembayaran bunga, pengambilan pokok pinjaman bunga, peningkatan margin deposit, pengikatan dan peningkatan agunan.
Pada dasarnya ada tiga faktor umum yang menyebabkan terjadinya NPL pada sektor perbankan. Diantaranya yaitu internal debitur, internal bank, dan eksternal non bank dan debitur. Internal debitur meliputi usia, baik buruknya karakter debitur, atau kemunduran usaha debitur.
Lalu faktor internal bank meliputi loan to deposit ratio, kualitas aktiva produktif, tingkat bunga pinjaman, penilaian agunan, lokasi, petugas bank, dan besaran kredit. Sedangkan faktor eksternal non bank dan debitur meliputi inflasi inflasi, kurs, GDP per kapita, riil bencana alam, penurunan kondisi moneter negara, tingkat PDB, dan peraturan pemerintah.
Sejumlah faktor internal bank yang berkaitan dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio perbandingan jumlah modal, baik modal inti maupun modal pelengkap terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). CAR merupakan indikator yang digunakan Bank Indonesia dalam upaya menetapkan ketentuan penyediaan modal minimum bank. Semakin tinggi CAR maka semakin besar pula modal yang dimiliki. Dengan banyaknya modal, maka penyaluran kredit juga akan mengalami peningkatan, sehingga risiko terjadinya kredit bermasalah juga ikut meningkat.
Tak hanya, CAR, Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan dana pihak ketiga. Rasio ini mengukur likuiditas suatu bank. Dimana semakin tinggi rasio LDR, maka semakin tidak likuid bank tersebut dikarenakan hampir seluruh dana yang dimiliki digunakan untuk kredit atau pembiayaan. Jadi semakin tinggi rasio LDR, maka kemungkinan terjadi kredit bermasalah juga semakin tinggi.
Pihak bank umumnya meminta laporan neraca laba rugi milik debitur untuk melakukan analisa menyeluruh, yang mana pihak bank dapat menemukan beberapa gejala yang dibagi dalam empat aspek, yakni aspek finansial, aspek manajemen, aspek teknis/produksi, dan aspek agunan.
Dalam aspek finansial, gejala-gejala yang diperhatikan saat ada tanda-tanda debitur yang bermasalah meliputi sales yang menurun, alokasi dana yang menandakan pembelanjaan yang tidak sehat, stock turnover melambat, aging piutang meningkat, COGS meningkat, likuiditas menurun, EBITDA menurun, dan leverage memburuk.
Kemudian dalam aspek manajemen, banker juga akan mengecek gejala-gejala seperti debitur yang tidak kooperatif, adanya pergantian pengurus/pemegang saham tanpa sepengetahuan bank, debitur yang terjerat hukum, debitur yang sulit dihubungi, pengawasan internal lemah, adanya konflik internal, manajemen yang kurang berpengalaman, serta tidak adanya managerial funding.
Faktor yang tidak bisa dikontrol oleh bank dan debitur umumnya berkaitan dengan kebijakan yang yang dipengaruhi oleh pasar global. Misalnya, faktor BI Rate didefinisikan sebagai suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan Bank Indonesia.
Ketika tingkat bunga naik, maka keinginan masyarakat untuk menabung juga akan ikut naik. Jika kredit atau pembiayaan meningkat, maka akan menyebabkan risiko terjadinya kredit atau pembiayaan bermasalah meningkat. Kenaikan suku bunga akan memberatkan mereka untuk melunasi kredit yang telah dipinjamnya (terutama yang menggunakan acuan (floating rate), sehingga dapat menyebabkan kredit bermasalah meningkat.
Begitupun dengan inflasi yang menyebabkan kenaikan harga jual. Dampaknya adalah masyarakat membatasi konsumsi dan produsen sebagai debitur akan mengalami kesulitan dalam mengembalikan kredit, sehingga terjadinya risiko kredit bermasalah akan meningkat. Dengan pendapatan yang tetap, kenaikan harga akan semakin membebani hidup masyarakat sehingga kemampuan dalam mengembalikan kredit atau pembiayaan akan menurun dan menyebabkan tingginya risiko kredit atau pembiayaan bermasalah.
Baca juga: Cara Pemutihan BI Checking di Indonesia Terbaru 2021 Melalui SLIK
Rumus NPL Sesuai Aturan Bank Indonesia (BI)
Peraturan BI Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Semakin tinggi nilai Non Performing Loan (NPL) melebihi 5% maka bank tersebut tidak sehat. Apabila rasio dari NPL di bawah 5% maka potensi keuntungan yang didapat akan semakin besar. Bank tetap harus menjaga persentase NPL di bawah 5% sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
Lebih rinci, dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/11/PBI/2015, rasio NPL total kredit adalah rasio antara jumlah total kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total kredit. Atau dengan kata lain dalam menghitung rasio, NPL merupakan perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan dengan tingkat kolektibilitas yang merupakan kredit bermasalah dibandingkan dengan total kredit yang diberikan oleh bank.
Cara untuk menghitung persentase NPL dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
NPL = [ :] x 100%
Setelah itu dilakukan penetapan rasio profil NPL dengan indikator sebagai berikut :
Peringkat
Keterangan
Kriteria
1
Keterangan
Sangat Sehat
Kriteria
NPL<2 %
2
Keterangan
Sehat
Kriteria
2% ≤ NPL < 5%
3
Keterangan
Cukup Sehat
Kriteria
5% ≤ NPL < 8%
4
Keterangan
Kurang Sehat
Kriteria
8% ≤ NPL 12%
5
Keterangan
Tidak Sehat
Kriteria
NPL ≥ 12%
Upaya Penyelesaian NPL
Siapa saja yang bisa mengajukan relaksasi kredit? Nyatanya, tidak seluruh badan usaha yang diizinkan oleh OJK untuk melakukan restrukturisasi kredit. Dalam POJK No. 11/POJK.03/2020, hanya sektor usaha yang terdampak COVID-19 yang diperbolehkan. Mulai dari pariwisata, transportasi, hotel, F&B, ritel, multifinance, farmasi, pertanian, pertambangan, hingga otomotif.
Sementara itu, OJK juga menetapkan kriteria debitur yang boleh mengajukan relaksasi kredit. Debitur tersebut harus mengalami kerugian yang berhubungan dengan adanya COVID-19, seperti penurunan cashflow, terkena dampak penutupan jalur transportasi, terhambatnya proyek pembangunan infrastruktur, memiliki kewajiban sebagian besar dalam valuta asing, dan terdampak kebijakan pemerintah.
Jika penyelamatan kredit yang dilakukan oleh bank ternyata tidak berhasil, maka bank dapat melakukan tindakan lanjutan berupa penyelesaian kredit macet melalui program penghapusan kredit macet (write-off). Penghapusan kredit macet terbagi dalam dua tahap yaitu hapus buku atau penghapusan secara bersyarat atau conditional write-off, dan hapus tagih atau penghapusan secara mutlak atau absolute write-off.
Jika kemudian program hapus buku dan hapus tagih juga belum berhasil mengembalikan dana kredit yang disalurkan kepada debitur, maka bank dapat menyelesaikan portofolio kredit macet tersebut melalui jalur litigasi (proses peradilan) maupun jalur non-litigasi (di luar proses peradilan). Pemerintah pun telah melakukan strategi recovery kredit yang dilakukan dalam sejumlah bentuk:
Apakah Anda memiliki rencana untuk membeli rumah dalam waktu dekat ini? Simaklah video informatif berikut untuk mengetahui waktu paling tepat untuk beli rumah!
Temukan lebih banyak pilihan rumah terlengkap di Daftar Properti dan Panduan Referensi seputar properti dari Rumah247.com.